MAKALAH
MANAJEMEN INDUSTRI
“INDUSTRI PERIKANAN BERKELANJUTAN”
OLEH KELOMPOK 6 :
JURUSAN AGROBISNIS PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki laut yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km2 dan mempunyai potensi serta keanekaragaman sumber daya kelautan dan perikanan yang sangat besar. Hal ini merupakan modal yang besar bagi pembangunan ekonomi dan pada akhirnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, sumber daya kelautan dan perikanan tersebut dapat digunakan sebagai sumber bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat. Sehingga peningkatan produksi perikanan diharapkan mampu mendukung ketahanan pangan nasional.
Sementara itu, berdasarkan data dari FAO, pada tahun 2012, Indonesia menempati peringkat ke-2 untuk produksi perikanan tangkap laut dunia, peringkat ke-4 untuk produksi perikanan budidaya di dunia, dan peringkat ke-2 untuk produksi rumput laut di dunia. Sejak beberapa tahun terakhir, perikanan tangkap mengalami perlambatan pertumbuhan produksi dan cendenrung mengalami stagnasi. Hal ini karena jumlah hasil tangkapan yang telah mendekati produksi tangkapan lestari (Maximun Sustainable Yield/MSY) sebesar 6,5 juta ton per tahun, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch/TAC) adalah 80 persen dari MSY. Saat ini upaya pengelolaan penangkapan ikan di laut lebih diarahkan pada pengendalian dan penataan faktor produksi untuk menghasilkan pemanfaatan yang berkesinambungan. Selanjutnya, upaya peningkatan produksi perikanan budidaya perlu memperhatikan daya dukung lingkungan, diantaranya terkait kualitas air dan pencemaran yang mungkin terjadi akibat pemberian pakan yang berlebihan, serta pembukaan lahan baru untuk tambak/kolam pemeliharaan ikan.
1.2 Perumusan Masalah
Perikanan berkelanjutan adalah upaya memadukan tujuan sosial, ekonomi dan ekologi. Konsep perikanan berkelanjutan muncul dari kesadaran lingkungan. Perikanan berkelanjutan dikembangkan karena kecemasan akan makin merosotnya kemampuan lingkungan perairan untuk menyangga ketersediaan sumber daya ikan. Ide awal perikanan berkelanjutan adalah dapat menangkap atau memanen sumber daya ikan pada tingkat yang berkelanjutan, sehingga populasi dan produksi ikan tidak menurun atau tersedia dari waktu ke waktu. Sumber daya ikan termasuk sumber daya yang dapat diperbaharui, walaupun demikian bukan berarti sumber daya ikan dapat dimanfaatkan tanpa batas. Apabila sumber daya ikan dimanfaatkan tanpa batas atau tidak rasional serta melebihi batas maksimum daya dukung ekosistemnya, maka dapat mengakibat kerusakan dan berkurangnya sumber daya ikan itu sendiri, bahkan bila tidak segera diatasi juga dapat mengakibatkan kepunahan sumber daya ikan tersebut.
Menyadari pentingnya arti keberlanjutan tersebut, maka pada tahun 1995 badan dunia FAO merumuskan konsep pembangunan perikanan berkelanjutan dengan menyusun dokumen Kode Etik Perikanan yang Bertanggung Jawab atau Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).4 Aktivitas perikanan yang berkelanjutan dapat dicapai melalui pengelolaan perikanan yang tepat dan efektif, yang umumnya ditandai dengan meningkatnya kualitas hidup dan kesejahteraan manusianya serta juga terjaganya kelestarian sumber daya ikan dan kesehatan ekosistemnya.
1.3 Tujuan
Tujuan dari kajian ini adalah untuk menyusun strategi pengelolaan perikanan tangkap dan budidaya yang berkelanjutan Penyusunan ini berguna untuk menjadi dasar bagi pengambilan keputusan dalam rangka mencapai pembangunan dan peningkatan pemanfaatan sektor perikanan yang efektif, dilakukan secara lestari, berkelanjutan, serta bertanggung jawab sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries. Selain itu penyusunan kajian juga dilakukan dalam rangka perencanaan pembangunan nasional khususnya terkait kelautan dan perikanan sesuai dengan Renstra Bappenas Tahun 2010-2014.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Pembangunan Perikanan Berkelanjutan
Dalam dua dekade terakhir ini, istilah berkelanjutan menjadi isu utama dalam melaksanakan pembangunan, yang kemudian dirumuskan kedalam konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang. Kebutuhan yang dimaksud disini adalah kebutuhan untuk kelangsungan hidup hayati dan kebutuhan untuk kehidupan manusia. Dengan demikian, pada prinsipnya konsep pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial.
Konsep pembangunan berkelanjutan muncul dari kesadaran lingkungan dan kecemasan akan makin merosotnya kemampuan bumi untuk menyangga kehidupan.
Tekait dengan isu pembangunan berkelanjutan ini, pada tahun 1992 PBB mengadakan Earth Summit (Konferensi Tingkat Tinggi/KTT Bumi) di Rio Janeiro, Brasil, dan 178 pemimpin negara di dunia termasuk Indonesia berhasil menyepakati program aksi untuk pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dokumen tersebut merupakan tindak lanjut laporan The World Commission on Environment and Development (WCED) atau Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan yang berjudul Masa Depan Kita Bersama (Our Common Future) pada sidang umum PBB pada tahun 1987. Selanjutnya, pada tahun 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan, diadakan the Word Submit on Sustainable Development (WSSD) untuk lebih melengkapi lagi konsep pembangunan berkelanjutan dengan memuat prinsip-prinsip utama pembangunan berkelanjutan yang harus dipedomani setiap negara dalam mengimplementasikannya berdasarkan pertimbangan keterkaitan dan kesaling- tergantungan pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pembangunan lingkungan.
Pembangunan berkelanjutan ini tentunya mencakup semua sektor pembangunan, termasuk didalamnya adalah sektor perikanan. Istilah perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries) mulai dijadikan agenda dunia pada tahun 1995 dengan merumuskan konsep pembangunan perikanan berkelanjutan oleh FAO dengan menyusun dokumen Kode Etik Perikanan yang Bertanggung Jawab atau Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Selanjutnya, dilakukan perumusan definisi terkait dengan perikanan berkelanjutan, baik oleh lembaga-lembaga yang berkompeten maupun para ahli.
Salah satu lembaga yang terkait dengan pelaksanaan perikanan berkelanjutan, yakni Marine Stewardship Council (MSC), mendefinisikan perikanan berkelanjutan sebagai salah satu cara memproduksi ikan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat berlangsung terus menerus pada tingkat yang wajar dengan mempertimbangkan kesehatan ekologi, meminimalkan efek samping yang mengganggu keanekaragaman, struktur, dan fungsi ekosistem, serta dikelola dan dioperasikan secara adil dan bertanggung jawab, sesuai dengan hukum dan peraturan lokal, nasional dan internasional untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan generasi masa depan.10 Sementara, salah satu ahli perikanan dunia, yaitu Hilborn (2005) dari University of Washington, menyatakan bahwa definisi perikanan berkelanjutan adalah: aktivitas perikanan yang dapat mempertahankan keberlangsungan hasil produksi dalam jangka panjang, menjaga keseimbangan ekosistem antar generasi, dan memelihara sistem biologi, sosial, dan ekonomi guna menjaga kesehatan ekosistem manusia dan ekosistem laut.
Dengan demikian, dalam melaksanakan pembangunan perikanan berkelanjutan tidak lepas dari memadukan tujuan dari tiga unsur utamanya, yakni dimensi ekonomi, ekologi dan sosial. Pertama, tujuan pembangunan perikanan secara ekonomis dianggap berkelanjutan, jika sektor perikanan tersebut mampu menghasilkan produk ikan secara berkesinambungan (on continuing basis), memberikan kesejahteraan finansial bagi para pelakunya, dan memberikan sumbangan devisa serta pajak yang signifikan bagi negara. Kedua, tujuan pembangunan perikanan dikatakan secara ekologis berkelanjutan, manakala basis ketersediaan stok atau sumber daya ikannya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebihan, dan tidak terjadi pembuangan limbah melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang dapat mengakibatkan kondisi tercemar. Dan Ketiga, tujuan pembangunan perikanan dianggap secara sosial berkelanjutan, apabila kebutuhan dasar (pangan, sandang, kesehatan, dan pendidikan) seluruh penduduknya terpenuhi; terjadi distribusi pendapatan dan kesempatan berusaha secara adil; ada kesetaraan gender (gender equity), dan minim atau tidak ada konflik sosial.
2.2 Kaidah Internasional untuk Pembangunan Perikanan Berkelanjutan
Sumberdaya ikan tidak mengenal batas administrasi karena sifatnya yang selalu bergerak, bahkan untuk beberapa jenis ikan mampu bermigrasi antar negara, seperti ikan tuna. Inilah yang menjadi salah satu pertimbangan badan pangan dunia FAO (Food and Agriculture Organization) memfasilitasi untuk membentuk sebuah komite yang secara permanen menangani masalah perikanan dunia, yakni the Committee on Fisheries (COFI), pada sidang konferensi FAO ke-13 tahun 1965. COFI merupakan satu-satunya forum global antar-pemerintah yang fokus membahas isu-isu perikanan dunia, baik perikanan tangkap maupun akuakultur, untuk merumuskan rekomendasi solusinya yang nantinya dijadikan acuan atau rujukan oleh pemerintah, badan-badan perikanan regional (regional fisheries management organizations-RFMOs), pelaku usaha perikanan, lembaga swadaya masyarakat-LSM, dan masyarakat perikanan lainnya di seluruh dunia.
Indonesia yang telah bergabung menjadi anggota FAO sejak 28 November 1949, juga turut berpartisipasi dalam keanggotaan dan semua kegiatan COFI yang merupakan bagian dari lembaga FAO tersebut. Oleh karenanya, sudah semestinya dalam menyusun perencanaan dan mengimplementasikan program pembangunan perikanan tangkap nasionalnya, Pemerintah Indonesia perlu mengacu atau merujuk pada kaidah-kaidah internasional yang telah disepakati atau diadopsi dalam sidang- sidang COFI. Beberapa kaidah internasional COFI yang penting dan perlu menjadi landasan bagi Pemerintah Indonesia dalam merumuskan strategi dan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan, yakni adalah:
1. “Compliance Agreement” yang telah disepakati dalam sidang the FAO Committee on Fisheries (COFI) ke-20 tahun 1993
Compliance Agreement merupakan kesepakatan internasional yang menyerukan kepada negara-negara di dunia untuk patuh dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut lepas sesuai dengan hukum internasional dan peraturan konservasi dan manajemen internasional yang berlaku. Salah satu penekanannya adalah mencegah kapal-kapal ikan suatu negara untuk melakukan reflagging di laut lepas.
2. “United Nation Fish Stock Agreement” yang telah disepakati dalam sidang the
FAO Committee on Fisheries (COFI) ke-21 tahun 1995
Kaidah Internasional ini pada intinya mengamanahkan negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh di laut lepas (high seas) wajib menerapkan pendekatan kehati-hatian, mempelajari akibat dari penangkapan ikan, menggunakan upaya-upaya konservasi dan manajemen, melindungi kategori stok target, melindungi keanekaragaman organisme, menghindari penangkapan ikan, dan kapasitas penangkapan ikan yang berlebih, memperhatikan kepentingan nelayan kecil, melaksanakan upaya konservasi dan manajemen melalui observasi, serta kontrol dan pemantauan yang efektif.
3. “The Code of Conduct for Responsible Fisheries” (CCRF) yang telah disepakati dalam sidang the FAO Committee on Fisheries (COFI) ke-21 tahun 1995
Kode etik pengelolaan perikanan bertanggung jawab ini pada prinsipnya mengamanahkan beberapa hal penting kepada negara pengguna sumberdaya ikan, yakni: harus menjaga sumberdaya ikan dan lingkungannya, hak menangkap ikan harus disertai dengan kewajiban menangkap ikan dengan cara yang bertanggungjawab, negara harus mencegah terjadinya penangkapan yang berlebih, kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan harus berdasarkan bukti ilmiah terbaik yang tersedia, pelaksanaan pengeloaan sumberdaya ikan harus menerapkan pendekatan kehati-hatian, pengembangan dan penerapan alat penangkapan ikan yang selektif dan ramah lingkungan, perlu dilakukan perlindungan terhadap habitat perikanan yang kritis, negara menjamin terlaksananya pengawasan dan kepatuhan dalam melaksanakan pengelolaan perikanan. Kode etik ini beserta elaborasinya yang tertuang dalam beberapa guidelines merupakan referensi yang sangat penting bagi negara-negara pengguna sumberdaya ikan di dunia untuk mengimplementasikan pembangunan perikanannya dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Penerapan CCRF dalam pengelolaan dan perencanaan pembangunan perikanan nasional suatu negara, akan memberikan manfaat yang maksimal secara berkelanjutan bagi negara tersebut dalam hal penyediaan pangan bergizi, lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi, rekreasi dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakatnya, baik untuk generasi kini maupun mendatang.
4. “The International Plan of Action (IPOA) for the Management of Fishing Capacity (IPOA CAPACITY)” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-23 tahun 1999.
IPOA CAPACITY adalah kaidah internasional sukarela yang berlaku untuk semua negara yang terlibat dalam aktivitas perikanan tangkap dengan mengamanahkan beberapa hal penting, yakni melakukan penilaian dan pemantauan kapasitas penangkapan ikan nasionalnya dan merumuskannya kedalam National Plan of Action (NPOA). Kode Etik Perikanan yang Bertanggungjawab menetapkan bahwa Negara harus mengambil langkah- langkah untuk mencegah atau menghilangkan kapasitas perikanan berlebih dan harus menjamin bahwa tingkat usaha penangkapan ikannya sepadan dengan potensi sumber daya ikan yang tersedia.
5. “The International Plan of Action (IPOA) for the Conservation and Management of Sharks (IPOA SHARKS)” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-23 tahun
1999.
Kaidah internasional ini tujuan utamanya adalah untuk perlindungan hiu dan memberi mandat kepada negara-negara anggotanya agar membuat National Plan of Action (NPOA) untuk pengelolaan hiu, karena FAO menilai hiu sebagai spesies yang memiliki nilai penting dalam ekosistem yang menjadi penentu dan indikator kesehatan dan keseimbangan ekosistem perairan laut, keberadaannya mulai terancam menuju kepunahan.
6. “The International Plan of Action (IPOA) on Illegal, Unreported and Unregulated (IPOA IUU) fishing” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-24 tahun 2001.
Kaidah internasional ini lahir dari keprihatinan beberapa negara terhadap kondisi masih berlangsungnya praktik-praktik perikanan yang tidak sejalan dan bahkan bertentangan dengan konsep-konsep CCRF, seperti: kegiatan penangkapan ikan yang tidak dilengkapi dengan surat izin resmi, melanggar batas kedaulatan suatu negara, tidak melaporkan atau memalsukan data hasil tangkapannya, sea transhipment, melakukan praktek reflagging, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab tersebut, kemudian dikenal dengan istilah kegiatan illegal, unreported and unregulated fishing (IUU fishing). IUU fishing tentu sangat mengganggu upaya pengelolaan perikanan, sehingga sangat merugikan niat baik bagi negara dalam melaksanakan pembangunan perikanan yang bertanggungjawab. Kaidah internasional ini pada intinya mengamanatkan kepada setiap negara anggota FAO untuk menyusun National Plan of Action (NPOA) untuk mencegah, menghalangi, dan menghilangkan IUU fishing.
7. “Implementation of Ecosystem Approach to Fisheries Management to Achieve Responsible Fisheries and to Restore Fisheries Resources and Marine Environments” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-25 tahun 2003.
Untuk lebih mengefektifkan pengelolaan perikanan bertanggung jawab (CCRF) secara holistik dan terintegrasi, maka dalam sidang COFI ke-25 tahun 2003 telah diadopsi implementasi pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management atau EAFM) guna mencapai terwujudnya perikanan yang bertanggung jawab dan juga sekaligus untuk memulihkan sumber daya ikan serta lingkungan lautnya. Kebutuhan untuk mengadopsi kaidah ini, karena mempertimbangkan isu-isu yang lebih luas yang berdampak pada perikanan, seperti dampak dari polusi dan pembangunan wilayah pesisir, serta mengingat kompleksnya ekosistem di laut dan adanya dampak dari kegiatan penangkapan tidak hanya kepada target ikan tetapi juga terhadap ekosistem. EAFM sebenarnya adalah kelanjutan dalam penyempurnaan praktik manajemen perikanan yang bertanggung jawab (CCRF).
8. “The FAO Model Scheme on Port State Measures (PSM) to Combat Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing (Model Scheme)” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-26 tahun 2005.
Dalam upaya lebih mengefektifkan memerangi IUU fishing yang menjadi ancaman global dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan dan konservasi sumberdaya ikan dan keanekaragaman hayati laut, maka dalam sidang COFI ke-
26 tahun 2005 telah disepakati penyusunan instrument yang secara hukum mengikat (legally-binding Instrument) mengenai Port State Measures (PSM) berbasis Model Scheme dan International Plan of Action on IUU fishing. Kaidah internasional ini merupakan intervensi yang dilakukan oleh negara-negara pelabuhan untuk memerangi IUU fishing dengan menolak pemberian pelayanan terhadap kapal perikanan yang terindikasi melakukan IUU fishing.
9. “The Voluntary Guidelines for Securing Sustainable Small-scale Fisheries in the Context of Food Security and Poverty Eradication (SSF Guidelines)” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-31 tahun 2014.
Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Skala Kecil (Voluntary Guidelines on Small-scale Fisheries/VGSSF) adalah suatu instrumen yang secara khusus memberi kepastian atas kewajiban setiap negara melindungi nelayan kecil, mulai dari kegiatan produksi, pengolahan, hingga pemasaran. Instrumen ini bertujuan mengentaskan kemiskinan dan kelaparan nelayan skala kecil di masing-masing negara.
Sementara kaidah internasional yang penting dan perlu menjadi landasan bagi Pemerintah Indonesia dalam merumuskan strategi dan kebijakan pengelolaan perikanan budidaya berkelanjutan, diantaranya adalah:
1. “Responsible development of aquaculture, including culture-based fisheries, in areas under national jurisdiction” Kode Etik ini pada prinsipnya mengamanahkan beberapa hal penting seperti:
(a) Negara harus menetapkan, mempertahankan dan mengembangkan kerangka hukum dan administrasi yang tepat yang memfasilitasi pengembangan akuakultur yang bertanggung jawab;
(b) Negara harus mempromosikan pembangunan yang bertanggung jawab dan pengelolaan budidaya, termasuk evaluasi sebelum efek pembangunan akuakultur pada keragaman genetik dan integritas ekosistem, berdasarkan informasi ilmiah terbaik yang tersedia;
(c) Negara harus memproduksi dan secara teratur memperbarui strategi pembangunan perikanan dan rencana, seperti yang diperlukan, untuk memastikan bahwa pembangunan akuakultur berkelanjutan secara ekologis dan untuk memungkinkan pemanfaatan sumber daya bersama oleh budidaya dan kegiatan lainnya;
(d) Negara harus memastikan bahwa mata pencaharian masyarakat setempat, dan akses mereka ke lahan perikanan, tidak terkena dampak negatif perkembangan budidaya
(e) Negara harus menetapkan prosedur yang efektif khusus untuk budidaya untuk melakukan penilaian yang tepat lingkungan dan pemantauan dengan tujuan meminimalkan perubahan ekologis yang merugikan dan konsekuensi ekonomi dan sosial terkait yang dihasilkan dari ekstraksi air, penggunaan lahan, pembuangan limbah, penggunaan obat-obatan dan bahan kimia, dan budidaya lainnya kegiatan.
2. “Responsible development of aquaculture including culture-based fisheries within transboundary aquatic ecosystems”. Kode Etik ini pada prinsipnya mengamanahkan beberapa hal penting seperti:
(a) Negara harus melindungi ekosistem perairan lintas batas dengan mendukung praktek-praktek budidaya yang bertanggung jawab dalam yurisdiksi nasional mereka dan dengan kerjasama dalam mempromosikan praktek budidaya yang berkelanjutan;
(b) Negara harus, dengan hormat kepada Negara tetangga mereka, dan sesuai dengan hukum internasional, pastikan pilihan yang bertanggung jawab spesies, tapak dan pengelolaan kegiatan budidaya yang dapat mempengaruhi ekosistem perairan lintas batas;
(c) Negara harus berkonsultasi dengan Negara tetangga mereka, sebagaimana mestinya, sebelum memperkenalkan spesies non-pribumi ke dalam ekosistem perairan lintas batas;
(d) Negara harus membentuk mekanisme yang tepat, seperti database dan jaringan informasi untuk mengumpulkan, berbagi dan menyebarkan data yang terkait dengan kegiatan budidaya mereka untuk memfasilitasi kerjasama
perencanaan untuk pengembangan budidaya di tingkat nasional, subregional, regional dan global;
(f) Negara-negara harus bekerja sama dalam pengembangan mekanisme yang sesuai, jika diperlukan, untuk memantau dampak dari input yang digunakan dalam budidaya.
3. “Use of aquatic genetic resources for the purposes of aquaculture including culture-based fisheries”. Kode Etik ini pada prinsipnya mengamanahkan beberapa hal penting seperti:
(a) Negara harus melindungi keanekaragaman genetik dan menjaga integritas komunitas perairan dan ekosistem oleh manajemen yang tepat. Secara khusus, upaya harus dilakukan untuk meminimalkan efek berbahaya dari memperkenalkan spesies non-pribumi atau genetik saham diubah digunakan untuk budidaya perikanan termasuk berbasis budaya ke perairan, terutama di mana ada potensi yang signifikan untuk penyebaran spesies non-pribumi tersebut atau diubah secara genetik saham ke perairan di bawah yurisdiksi negara lain serta perairan di bawah yurisdiksi Negara asal. Negara harus, bila memungkinkan, mempromosikan langkah-langkah untuk meminimalkan merugikan genetik, penyakit dan efek lainnya lolos ikan budidaya pada saham liar;
(b) Negara-negara harus bekerjasama dalam elaborasi, adopsi dan pelaksanaan kode internasional praktek dan prosedur untuk perkenalan dan transfer organisme akuatik;
(c) Negara harus, untuk meminimalkan risiko penularan penyakit dan efek samping lainnya pada saham liar dan berbudaya, mendorong adopsi praktek yang tepat dalam perbaikan genetik induk yang, pengenalan spesies non- pribumi, dan dalam produksi, penjualan dan pengangkutan telur, larva atau goreng, induk atau bahan hidup lainnya. Negara harus memfasilitasi persiapan dan pelaksanaan kode nasional sesuai praktek dan prosedur untuk efek ini;
(d) Negara harus mempromosikan penggunaan prosedur yang tepat untuk pemilihan induk dan produksi telur, larva dan goring; (5) Negara harus, bila sesuai, mempromosikan penelitian dan, jika memungkinkan, pengembangan
teknik kultur untuk spesies yang terancam punah untuk melindungi, merehabilitasi dan meningkatkan saham mereka, dengan mempertimbangkan kebutuhan penting untuk melestarikan keragaman genetik spesies yang terancam punah.
4. “Responsible aquaculture at the production level” Kode Etik ini pada prinsipnya mengamanahkan beberapa hal penting seperti:
(a) Negara-negara harus bekerjasama dalam elaborasi, adopsi dan pelaksanaan kode internasional praktek dan prosedur untuk perkenalan dan transfer organisme akuatik;
(b) Negara harus mendorong partisipasi aktif fishfarmers dan komunitas mereka dalam pengembangan praktek manajemen budidaya yang bertanggung jawab.;
(c) Negara harus mempromosikan upaya yang meningkatkan pemilihan dan penggunaan pakan yang tepat, aditif pakan dan pupuk, termasuk pupuk;
(d) Negara harus mempromosikan pertanian dan manajemen kesehatan ikan praktek yang efektif mendukung langkah-langkah higienis dan vaksin. Penggunaan yang aman, efektif dan minimal therapeutants, hormon dan obat- obatan, antibiotik dan bahan kimia pengendalian penyakit lainnya harus dipastikan;
(f) Negara harus mengatur penggunaan input kimia dalam budidaya yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan;
(g) Negara harus mensyaratkan bahwa pembuangan limbah seperti jeroan, lumpur, mati atau ikan yang sakit, obat-obatan hewan kelebihan dan input kimia berbahaya lainnya tidak merupakan bahaya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan;
(f) Negara harus menjamin keamanan pangan produk akuakultur dan mempromosikan upaya-upaya yang menjaga kualitas produk dan meningkatkan nilai mereka melalui perhatian khusus sebelum dan selama panen dan pengolahan di lokasi dan dalam penyimpanan dan pengangkutan produk;
Selanjutnya, sidang COFI ke-25 tahun 2003 telah mengadopsi implementasi pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management atau EAFM). EAFM sebenarnya adalah kelanjutan dalam penyempurnaan praktik manajemen perikanan yang bertanggung jawab (CCRF).
2.3 Kerangka Pemikiran
Pada dasarnya kebijakan bukanlah suatu hal yang mutlak, namun harus diperbarui secara berkala untuk menyesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan. Untuk itu dalam kajian ini kerangka pemikiran dimulai dari kebijakan yang telah ada sebelumnya, sehingga dilakukan kajian desk study terhadap pengelolaan yang sudah ada di Indonesia. Kebijakan yang telah ada dan diimplementasikan di lapangan harus dilihat bagaimana kondisi eksistingnya. Dari kondisi eksisting akan terlihat potensi yang terdapat di lapangan, isu yang sedang berkembang dan permasalahan yang terjadi. Antara kondisi riil di lapangan dan kondisi yang diharapkan akan terlihat kesenjangan.
Kesenjangan inilah yang perlu diketahui untuk membuat perumusan strategi kebijakan dan menyusun rekomendasi untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan yang lebih baik. Setelah penyusunan strategi dan rekomendasi masih perlu dilakukan evaluasi dan monitoring untuk melihat apakah strategi yang dibuat benar-benar cocok untuk diaplikasikan. Kemudian kebijakan yang telah disusun perlu diterapkan dan diawasi pelaksanaannya, dan dalam jangka waktu tertentu dapat ditinjau kembali untuk diperbaiki. Kerangka berpikir dalam perumusan Kajian Strategi Pengelolaan
Perikanan Berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Kerangka Pemikiran Kajian Strategi Pengelolaan
Perikanan Berkelanjutan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Perikanan Tangkap
3.1.1 Jepang
Manajemen perikanan tangkap yang dilakukan oleh Jepang memfokuskan pada jumlah alat tangkap dan jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan. Sebagai langkah manajemen yang dilakukan adalah dengan menetapkan input terkontrol dan output terkontrol.
Input terkontrol yang dilakukan oleh Jepang adalah :
1. Ijin penangkapan : tidak sembarang orang boleh menangkap ikan, hanya nelayan yang telah memiliki ijin yang boleh melakukan penangkapan ikan
2. Registrasi kapal penangkap ikan : kapal yang digunakan untuk menangkap ikan adalah kapal yang sudah teregistrasi dan memiliki ijin untuk menangkap ikan di laut.
Sedangkan untuk output terkontrol, pemerintah Jepang menetapkan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan untuk nelayan. Jumlah tersebut dihitung berdasarkan :
1. Total Allowable Catch (TAC) : jumlah ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap, jumlahnya dihitung dan ditentukan oleh pemerintah
2. Allowable Biological Catch (ABC) : jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan kondisi biologi ikan yang ditangkap Sebagai penggerak dan untuk mempermudah kegiatan pengelolaan perikanan, pemerintah Jepang membentuk beberapa organisasi yang berkonsentrasi pada manajemen perikanan tangkap. Organisasi tersebut antara lain :
1. Fishery Agency (FA) yang merupakan bagian dari pemerintah nasional
2. Fisheries Research Agency (FRA) yang merupakan lembaga penelitian di bawah FA
3. Fisheries Experimental Centre yang bergerak dalam penelitian di tingkat pemerintah daerah
4. Fishery Cooperative Association (FCA) adalah asosiasi/koperasi para pelaku usaha perikanan, utamanya nelayan. Hampir semua nelayan terdaftar sebagai anggota FCA. FCA memiliki beberapa fungsi diantaranya:
a. Sebagai pelelang atau pemasar ikan b. Perbankan
c. Sarana pendidikan dan perkembangan teknologi d. Pengelola perikanan
Lesson learning dari praktek pengelolaan usaha perikanan tangkap di Jepang, antara lain adalah: (1) Sistem perijinan benar-benar dijadikan sebagai input control bukan dikaitkan dengan besarnya penerimaan pajak atau non-pajak yang akan diterima, (2) Sistem kelembagaan organisasi pengelola pelaku usaha perikanan tangkap yang terstruktur dan sistematis, dimana tidak ada pelaku usaha perikanan tangkap yang berdiri sendiri atau individual, tetapi setiap pelaku usaha wajib menjadi bagian atau anggota koperasi atau asosiasi, tergantung pada besarnya skala usaha.
3.1.2 Australia
Pemerintah negara bagian memiliki tanggung jawab untuk mengelola perikanan Australia dalam 3 mil laut dari garis pantai. Sama halnya dengan Jepang, Australia juga menerapkan input control dan output control.
Di bawah Manajemen Perikanan Act 1991, The Australian Fisheries Management Authority (AFMA) dapat mengalokasikan empat jenis izin:
1. hak konsesi penangkapan ikan,
2. izin penangkapan ikan,
3. izin riset ilmiah, dan
4. izin penangkapan untuk kapal ikan asing.
Australia telah memplotkan setiap wilayah perairannya. Setiap wilayah perairan memiliki fungsi sebagai lokasi penangkapan dari jenis ikan yang telah ditentukan sehingga armada dan alat tangkap yang beroperasi juga terbatas sesuai dengan jenis ikan yang menjadi tujuan tangkapan. Hal ini dilakukan untuk menghindari tumpang tindih antar para nelayan serta mempermudah kontrol dari pemerintah.
Perikanan pelagis terutama tuna dan cakalang dipusatkan di bagian barat, selatan dan timur Australia dengan penggunaan alat tangkap trawl. Sedangkan di bagian tenggara dipusatkan untuk perikanan skala kecil yang menggunakan alat tangkap gillnet, pancing dan perangkap dengan tujuan penangkapan kerang-kerangan, cumi-cumi dan ikan pelagis kecil.
Pemerintah Australia melalui lembaga risetnya, yakni Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) menetapkan prinsip-prinsip pengelolaan udang secara berkelanjutan, dengan memperhatikan tiga aspek utamanya, yaitu: aspek sumber daya, aspek lingkungan, dan aspek ekonomi.
1. Pada aspek sumberdaya dilakukan pengkajian stok udang untuk menetapkan output terkontrol. Kemudian dibuat pemetaan untuk memudahkan nelayan untuk memprediksi lokasi penangkapan. Selanjutnya kegiatan penangkapan udang diarahkan pada maximum economic yield agar kegiatan penangkapan berlangsung efektif, efisien dan memberikan keuntungan yang optimal.
2. Pada aspek lingkungan/ekosistem yang pertama dilakukan adalah menjaga dan melindungi daerah pemijahan dan nursery ground ikan yang terdiri dari daerah padang lamun dan mangrove dari kegiatan penangkpan ikan. Kemudian dilakukan penetapan pelolosan pada jaring trawl untuk membebaskan penyu dan hasil tangkapan sampingan lainnya. Selanjutnya dilakukan pengawasan terhadap sumberdaya ikan yang terancam punah maupun dilindungi.
3. Pada aspek ekonomi ditetapkan input terkontrol berupa jumlah, ukuran armada penangkapan dan musim penangkapan yang diperbolehkan yang sesuai dengan stok udang. Kegiatan penangkapan juga mempertimbangkan keefektifan dan efisiensi kegiatan penangkapan ikan agar terdapat keuntungan dalam pelaksanaannya.
Lesson learning dari praktek pengelolaan usaha perikanan tangkap di Australia, antara lain adalah adanya: (1) Pemetaan setiap wilayah perairannya untuk lokasi penangkapan dari jenis ikan yang telah ditentukan sehingga armada dan alat tangkap yang beroperasi juga terbatas sesuai dengan jenis ikan yang menjadi tujuan tangkapan. Hal ini dilakukan untuk menghindari tumpang tindih pemanfaatan wilayah
perairan antar para pelaku usaha penangkapan ikan atau para nelayan, sehingga mempermudah Pemerintah untuk mengawasi dan mengendalikannya, (2) Pelibatan lembaga riset untuk mewujudkan pengelolaan perikanan berkelanjutan pada spesies atau komoditas utama, mulai dari hulu hingga hilir.
3.1.3 United Kingdom (UK)
Pengelolaan perikanan di United Kingdom dilakukan dengan melakukan kontrol terhadap input, output dan technical measures. Pengaturan input terkontrol dilakukan dengan cara kapal ikan harus berlisensi, dan dalam aktivitas penangkapannya juga menggunakan output kontrol berupa sistem kuota penangkapan yang diperbolehkan. Selain itu untuk konservasi, tindakan teknisnya berdasarkan undang-undang Uni Eropa yang meliputi ukuran minimum ikan, ukuran minimum mesh size, pembatasan area, dan pembatasan pada beberapa jenis alat tangkap (technical measures).
Penentuan kuota dilakukan oleh Uni Eropa. Kemudian kuota tersebut dibagi berdasarkan besarnya laut kepada negara-negara Eropa seperti New South Wales, Irlandia Utara, Inggris dan Scotlandia. Dari kuota yang ditentukan Uni Eropa, Inggris memperoleh kuota ikan pelagis 77,3%, ikan demersal 59% dan kerang-kerangan
47,5%. Pengaturan di Inngris dilakukan oleh Fish Producer Organisation (FPOs). FPOs bertanggung jawab dalam mengelola kuota yang dialokasikan kepada mereka oleh Pemerintah dan lebih dari 70% dari spesies kuota harus didaratkan oleh armada Inggris. Anggota dari FPO yang memiliki armada berlebih dapat menjual kuotanya pada nelayan yang lain.
Lesson learning dari praktek pengelolaan usaha perikanan tangkap di United Kingdom, antara lain adalah adanya: (1) Sistem pengaturan input control yang dikombinasikan dengan output control, yakni dengan cara kapal ikan harus berlisensi dan diberi jatah kuota penangkapan yang diperbolehkan, (2) Sistem pengaturan technical measures untuk kepentingan konservasi melalui regulasi yang mengatur ukuran minimum ikan yang boleh dipasarkan, ukuran minimum mesh size (mata jaring) yang digunakan, pembatasan area penangkapan, dan pembatasan beberapa jenis alat tangkap yang diperbolehkan beroperasi di wilayah perairan tertentu.
3.2 Permasalahan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya
Secara umum, aktivitas perikanan di Indonesia belum menunjukkan kinerja yang berkelanjutan. Hal ini, dapat dilihat dengan masih belum banyaknya jumlah usaha perikanan di Indonesia yang berjalan langgeng (bertahan dalam jangka panjang). Selain itu, sektor perikanan nasional juga masih cukup banyak menghadapi kendala atau permasalahan yang cukup kompleks. Permasalahan paling utama yang menjadi penyebab perikanan di Indonesia belum berjalan secara berkelanjutan adalah masih lemahnya sistem pengelolaan perikanan (fisheries management system), baik untuk perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Pengelolaan perikanan yang lemah, baik secara langsung maupun tidak langsung, tentunya akan menimbulkan ketidakteraturan dan tidak terkendalinya usaha perikanan nasional, yang pada akhirnya akan menyebabkan aktivitas perikanan nasional menjadi tidak berkelanjutan.
Kemudian, permasalahan utama keberlanjutan lainnya yang lebih spesifik dihadapi perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Indonesia secara umum adalah sebagai berikut :
1) Perikanan tangkap
a. Permasalahan illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing
Kegiatan IUU fishing tidak hanya dilakukan oleh oleh kapal-kapal ikan berbendera asing saja, tetapi juga dilakukan oleh kapal-kapal ikan nasional. Hal ini tercemin dengan masih rendahnya tingkat kepatuhan kapal-kapal ikan nasional akan aturan main dalam pengelolaan sumber daya ikan, seperti tidak patuhnya kapal-kapal ikan nasional dalam menggunakan VMS (vessel monitoring system) dan pelaporan logbook hasil tangkapannya. Selain itu, juga masih ada nelayan ataupun pengusaha perikanan tangkap yang menggunakan jenis-jenis alat tangkap yang destructive (merusak) atau bahan-bahan yang berbahaya dalam kegiatan operasi penangkapan ikannya.
Masih maraknya kegiatan IUU fishing di Indonesia ini, secara nyata telah menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, baik dari sisi ekonomi, sosial maupun lingkungan, sehingga aktivitas ini dapat dinyatakan sebagai kendala utama bagi Indonesia dalam mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Sebagai gambaran, bahwa kerugian Indonesia akibat kegiatan illegal fishing saja (penangkapan ikan yang ilegal atau tidak memiliki ijin lengkap) di Laut Arafura mencapai 40 triliun rupiah per tahun. Kemudian, untuk kerugian dari aktivitas unreported fishing (penangkapan ikan yang tidak dilaporkan), walaupun belum ada laporan perkiraan besaran nilai kerugiannya, namun diperkirakan juga relatif besar akibat berdampak negatif pada lingkungan, utamanya dalam hal pendataan ikan hasil tangkapan. Diperkirakan masih cukup banyak hasil tangkapan yang tidak dilaporkan, salah satu akibatnya adalah terjadi bias informasi tentang status sumber daya ikan di suatu perairan, yang pada akhirnya akan mengakibatkan aktivitas penangkapan ikan yang terlalu intensif atau berlebih, yang dalam jangka panjang tentu akan menurunkan sumber daya ikan itu sendiri, dikarenakan tidak ada kesempatan ikan melakukan recovery stok populasinya.
Selanjutnya, untuk unregulated fishing (penangkapan ikan yang tidak diatur), perkiraan besaran nilai kerugiannya juga relatif besar akibat berdampak negatif pada lingkungan, walaupun belum ada laporan terkait hal tersebut. Salah satu akibat penggunaan jenis alat-alat tangkap ikan yang tidak diatur adalah tingginya hasil tangkapan by catch (hasil tangkapan sampingan yang tidak dimanfaatkan) dan/atau juvenil (anak-anak ikan), karena alat-alat penangkapan ikannya yang tidak/kurang selektif.
Masalah IUU fishing menjadi masalah utama dan rumit yang dihadapi sub- sektor perikanan tangkap hingga kini.
b. Permasalahan padat tangkap di perairan pantai
Permasalahan padat tangkap dalam sub-sektor perikanan tangkap hampir terjadi di semua perairan pantai Indonesia, padahal Indonesia memiliki perairan laut yang sangat luas. Hal ini terjadi, karena sebagian besar armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh ukuran kapal ikan 5 GT (gross ton) kebawah, yakni sebesar 89%7 pada tahun 2012. Kapal penangkap ikan yang berukuran 5 GT kebawah umumnya hanya mampu beroperasi di perairan pantai atau di perairan teritorial (dibawah 12 mil).
Dengan demikian, sebagian besar armada penangkapan ikan di Indonesia banyak terkonsentrasi di perairan pantai yang terbatas, baik luasan maupun sumber daya ikannya. Apalagi, kapal ikan berukuran kecil ini, yang merupakan kewenangan daerah kabupaten/kota belum diatur dan dikelola dengan baik dan relatif masih bersifat open access”, sehingga jumlah peningkatan armadanya menjadi tidak terkendali, terutama di daerah-daerah perairan pantai yang dekat dengan konsentrasi padat penduduk. Akibatnya akhirnya tentu sangat berdampak pada keberadaan dan keberlanjutan sumber daya ikan di perairan pantai.
c. Pengawasan yang masih lemah
Regulasi yang telah dibuat oleh Pemerintah tentunya harus diimbangi dengan pengawasan yang efektif. Pengawasan bukan hanya diperuntukkan bagi para pelaku illegal fishing semata, namun juga bagi pelaggar dari setiap aturan atau kesepakatan terkait perikanan berkelanjutan yang telah dibuat.
Dalam melaksanakan pengawasan ini, Pemerintah juga harus menggandeng masyarakat dan pelaku usaha perikanan untuk bersama-sama mengawasi aktivitas perikanan yang berjalan dan kondisi lingkungan lautnya guna mewujudkan aktivitas perikanan yang berkelanjutan.
2) Perikanan budidaya
a. Permasalahan pakan ikan
Pakan merupakan komponen tertinggi dalam struktur biaya operasi budidaya baik ikan maupun udang, dimana biaya pakan (feed cost) dapat mencapai 40-70% dari biaya operasi. Hal ini mengandung arti bahwa harga pakan sangat berperan dalam menentukan tinggi atau rendahnya biaya produksi ikan. Selanjutnya, biaya produksi ikan dari suatu negara akan menentukan daya saing ikan negara tersebut di pasar eksport ataupun di pasar domestik. Sebagai implikasinya, pengendalian harga pakan pada level yang relatif murah atau paling sedikit setara dengan harga pakan sejenis di negara kompetitor adalah suatu hal yang sangat positif bagi pengembangan perikanan budidaya yang berkelanjutan.
Dilihat dari sisi produksi, bahan baku pakan ikan di Indonesia sebagian besar masih impor, utamanya tepung ikan, tepung kedelai, dan tepung jagung, atau kalaupun ada produk dalam negeri biasanya harganya lebih mahal dan kualitasnya lebih rendah dari produk impor. Sementara itu, secara teknis, sumber protein pakan umumnya berasal dari tepung ikan. Dalam kenyataannya, harga tepung ikan di pasar dunia cenderung terus naik, karena “supply” lebih sedikit dari pada “demand”. Demand terus meningkat akibat perkembangan akuakultur di berbagai negara. Negara-negara tersebut adalah pesaing Indonesia dalam mengekspor komoditas perikanan. Hal ini tentu akan menjadi penghambat keberlanjutan perikanan budidaya secara ekonomi.
b. Permasalahan penurunan kualitas lingkungan perairan
Dilihat dari sisi penggunaan pakan dalam perikanan budidaya sesungguhnya selalu mengandung inefisiensi. Kalaupun budidaya menghasilkan efisiensi pakan 100% atau 1 kg pakan dikonversi menjadi 1 kg ikan atau udang, tetap tidak efisien, karena ada perbedaan kadar air, yakni kadar air pakan lebih kecil dari 10%, sedangkan kadar air ikan atau udang kurang lebih 67%. Dengan perkataan lain, budidaya ikan dengan efisiensi pakan 100% pun tetap menghasilkan limbah yang lebih banyak daripada produknya sendiri. Akibatnya, bila hal ini tidak diperhitungkan dengan sistem rantai makanan dan daya dukung lingkungan tentu akan menyebabkan pencemaran dan aktivitas perikanan budidaya pada akhirnya menjadi tidak berkelanjutan.
Selain itu, jaminan lokasi perikanan budidaya didalam Tata Ruang menjadi suatu fundamental yang sangat urgen, karena hal itu akan berarti kepastian hukum dalam arti fisik dan fungsional bagi para pelaku usaha perikanan budidaya. Kepastian hukum dalam arti fisik mengandung makna bahwa lokasi budidaya tidak bisa diganggu gugat atau diusir oleh peruntukan lain selain dari perikanan budidaya. Kepastian hukum dalam arti fungsional bermakna bahwa lokasi yang berada dalam Tata Ruang tersebut akan dapat melaksanakan fungsi perikanan budidaya dengan baik. Sehingga terdapat jaminan bahwa perairan yang ada tidak akan tercemari baik oleh limbah industri, pertanian ataupun rumah tangga yang berada dibagian hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) yang mengalir di kawasan tersebut. Namun, faktanya tidak sedikit masalah yang timbul akibat adanya konflik kepentingan penggunaan ruang antara perikanan budidaya dengan kegiatan sektor lain. Hal ini tentu juga akan menjadi penghambat dalam mewujudkan perikanan budidaya yang berkelanjutan.
c. Permasalahan induk ikan dan udang yang SPF (Specific Pathogen Free)
Pada awalnya perikanan budidaya, tidak sulit mendapat indukan bermutu dan tahan penyakit dari. Namun, dengan berjalannya waktu muncullah berbagai penyakit viral yang menyebabkan indukan ikan dan udang rentan terhadap penyakit. Hal ini terjadi karena Pemerintah Indonesia dalam hal ini kementerian kelautan dan Perikanan tidak pernah serius dalam menghasilkan induk ikan dan udang yang SPF (Specific Pathogen Free).
Sebagai gambaran pada perikanan budidaya udang, Pemerintah Amerika dan beberapa negara Amerika Latin membuat riset jangka panjang untuk perbaikan mutu genetik, sehingga diperoleh induk udang Vanamae SPF setelah 15 tahun melakukan riset. Sementara, di Indonesia untuk riset induk udang windu SPF tidak dilakukan dengan serius dan tuntas walaupun sudah dibahas sejak tahun 90-an. Akhirnya, hingga kini di Indonesia induk udang windu SPF belum dihasilkan, dan perikanan udang nasional beralih ke udang vanamae yang induk udang vanamae SPF - nya sangat tergantung impor dari Amerika. Keadaan ini tentu tidak menguntungkan bagi Indonesia, karena perikanan udang nasional menjadi tergantung kepada negara luar, sehingga perikanan budidaya udang yang berkelanjutan juga akan menjadi sulit terwujud.
Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas diperlukan strategi dan kebijakan yang tepat guna lebih memperkuat sistem pengelolaan perikanan nasional agar lebih komprehensif dan berjalan secara efektif dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan di indonesia.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Rekomendasi
Rekomendasi yang disarankan untuk mempercepat terwujudnyan PengelolaanPerikanan Berkelanjutan adalah sebagai berikut:
1. Perlunya dilakukan segera merumuskan dan mengimplementasikan sistem pengelolaan perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries management) yang sesuai untuk Indonesia berdasarkan kaidah-kaidah internasional yang telah diamanatkan dan disarankan oleh FAO dan best practices dari negara-negara yang telah berhasil. Best practices yang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk diadopsi, yakni: untuk negara Jepang adalah struktur kelembagaan para pelaku usaha penangkapan ikan yang sistematis dan jelas, dimana untuk perikanan pantai dikelola oleh koperasi-koperasi perikanan yang beranggotakan nelayan-nelayan skala kecil dan menengah, untuk lepas pantai oleh asosiasi-asosiasi perikanan yang beranggotakan para pengusaha perikanan industri; untuk negara Australia adalah sistem pembatasan input control yang tegas, sistem perlindungan untuk daerah- daerah pemijahan dan nursery ground ikan, dan pelibatan lembaga riset untuk mewujudkan pengelolaan perikanan berkelanjutan pada spesies atau komoditas utama, mulai dari hulu hingga hilir; dan untuk Inggris adalah sistem pengaturan technical measures untuk kepentingan konservasi melalui regulasi yang mengatur ukuran minimum ikan yang boleh dipasarkan, ukuran minimum mesh size (mata jaring) yang digunakan, pembatasan area penangkapan, dan pembatasan beberapa jenis alat tangkap yang diperbolehkan beroperasi di wilayah perairan tertentu.
2. Guna menghindari kesalahan atau bias dalam pengambilan kebijakan pengelolaan perikanan berkelanjutan, perlu segera diprioritaskan peningkatan keandalan sistem pendataan dan informasi perikanan agar lebih komprehensif, efektif, dan efisien.
3. Perlu penguatan atau perumusan kembali bentuk kelembagaan yang tepat dan efektif untuk mengelola perikanan berkelanjutan.
4. Untuk perikanan tangkap perlu segera untuk menerapkan “limited acces” secara penuh melalui bentuk pengelolaan perikanan (fisheries management) yang tepat, memberantas illegal fishing, menerapkan kebijakan open and close season, dan restrukturisasi ukuran dan jumlah armada perikanan nasional.
5. Untuk perikanan budidaya perlu segera untuk mengembangkan industri pakan ikan yang berbasis bahan baku domestik dan juga mengembangkan industri pembenihan ikan, udang dan rumput laut nasional serta memberikan jaminan dan kepastian hukum tata ruang untuk usaha perikanan budidaya.
6. Mengingat antara satu permasalahan dan permasalahan lain dalam bidang perikanan memiliki keterikatan yang kuat, maka perbaikan, pelaksanaan, kontrol dan pengawasan serta sanksi yang diberikan harus tegas dan dilakukan secara komprehensif.
4.2 Saran
Untuk Perikanan Industri agar dapat berkelanjutan sebaiknya Perusahaan atau Nelayan Penangkapan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan dan tidak melakukan penangkapan lebih atau Over Fishing yang menyebabkan ikan di suatu wilayah tidak dapat lagi bertambah atau ikan tersebut sudah habis setelah melakukan penangkapan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisanjaya. 2007. Potensi, Produksi Sumberdaya Ikan di Perairan Laut Indonesia dan Permasalahannya. EAFM Indonesia.
Budianto, S. 2012. Pengelolaan Perikanan Tangkap Komoditas
Udang secaraBerkelanjutan di Kabupaten Cilacap. Tesis.
Universitas Indonesia. Depok.
Charles, A. T. 2001. Sustainable Fishery Systems. United
Kingdom:BlackwellScience Ltd.
Das, M. dan Mishra B. 1990. On The Biology of Psettodes erumei
(Bloch & Schn.), An Indian Halibut. Indian Fish., 37 (2): 79-92.
===============================================================
Download DISINI